Suatu
hari tim bola basket putra SMU-ku mengadakan pertandingan persahabatan
dengan tim SMU favorit, yang diadakan di sekolahku. Aku yang tidak bisa
main dan tidak begitu suka main basket, terpaksa harus datang dalam
kapasitasku sebagai pengurus OSIS seksi olahraga, mendampingi kepala
sekolah dan ketua OSIS. Lebih dari itu, aku harus datang lebih awal,
karena mau ada briefing untuk acara seremoni sebelum pertandingan
dimulai.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung menuju
ke lapangan basket yang berada di samping gedung sekolah. Nampak Anto
ketua OSIS dan Sarah si sekreatis sudah menunggu di sana.
“Sori aku telat. Pada lama nunggu ya?” sapaku setengah basa-basi.
“Ah, enggak juga. Kita aja yang terlalu cepat datangnya,” Sarah yang menjawab.
Sejenak aku memandangi si empunya suara itu. Kuperhatikan wajahnya. “Cantik sekali,” kataku dalam hati.
“Dik,
ngapain kamu mandangin aku kayak gitu. Kayak baru sekali ketemu aja!”
hardik Sarah sambil menahan malu, terlihat dari pipinya yang agak merona
merah.
“Hari ini kamu nampak cantik sekali Rah,” Upss, aku sendiri kaget dengan keberanianku ngomong terus-terang seperti itu.
“Emangnya kemarin-kemarin nggak cantik?” Pipi Sarah semakin memerah.
“Kemarin-kemarin sih ..”
“Heh, enak aja aku dicuekin. Ngrayunya dilanjutin nanti aja,” hardik Anto sambil menepuk pundakku.
“Eh, sori .. sori, To,” jawabku sambil cengar-cengir.
Selanjutnya
briefing dimulai. Ternyata, yang membriefing Sarah yang juga mengatur
susunan acara sebelum pertandingan. Selama briefing itu, aku gunakan
kesempatan untuk memperhatikan wajah Sarah. Sarah memang cantik.
Parasnya ayu, dan nampak keibuan. Sudah dua tahun aku berhubungan dengan
Sarah lewat kegiatan sekolah, tapi baru kali ini saya menyadari betapa
cantiknya dia. Pantas, dia sering jadi bahan pembicaraan teman-teman
cowok di sekolahku. Memang badannya tidak bisa dibilang bagus. Sarah
tergolong pendek, paling kurang dari 155 cm tingginya, dan badannya agak
sedikit gemuk. Tapi, anak-anak sekolah biasanya lebih memperhatikan
wajah ketimbang bodi dan yang lain-lainnya.
Singkat
cerita, setelah briefing dilanjutkan dengan acara seremonial. Selama itu
aku lebih banyak mendampingi ketua OSIS dan kepala sekolah berbasa-basi
dengan kepala sekolah dan pengurus OSIS tim tamu, sehingga aku tidak
tahu kapan persisnya, sekitar lapangan basket sudah ramai dengan
suporter, kebanyakan dari sekolahku sendiri, dan … ternyata didominasi
cewek. Barangkali suporter ceweknya ada sekitar 70-an persen. Diam-diam
aku ngiri. Selama aku memperkuat tim sepakbola sekolahku, belum pernah
disuporteri begitu banyak cewek. Kalau tim sepakbola bertanding, yang
datang cowok-cowok. Kalaupun ada cewek, paling-paling datang sebagai
gandengan cowoknya.
Selama pertandingan berlangsung,
aku tidak begitu memperhatikannya. Di samping aku tidak begitu suka
basket, memperhatikan tingkah laku suporter cewek jauh lebih menarik
bagiku. Di antara deretan suporter cewek itu, aku melihat Siti, teman
sekelasku yang juga pemain basket untuk tim putri. Postur Siti memang
cocok untuk basket. Tinggi dan agak langsing. Wajahnya tergolong manis,
dengan kulit agak kehitaman, sehingga sebutan hitam-manis sangat pas di
sematkan padanya. Siti juga tergolong cewek populer di antara
teman-teman cowok.
Saat aku memperhatikan
suporter-suporter cewek, tiba-tiba ada seorang cewek yang datang,
langsung merangsek ke barisan depan dan memberi dukungan dengan
hebohnya. Tidak heran, si cewek itu Nita, yang terkenal heboh dan paling
sering jadi pembicaraan. Bahkan kabar selentingan dia suka dipakai oleh
Om-Om. Tentu saja aku tidak begitu memperhatikan kabar itu, selain
kabarnya yang tidak jelas, juga aku hanya kenal biasa-biasa saja dengan
Nita.”
Tapi sore itu lain. Perhatianku tidak lepas dari
Nita dan tingkah lakunya. Dia jauh lebih menyita perhatianku ketimbang
Sarah atau Siti. Mataku tak pernah bosan melihat sepasang teteknya yang
bergoncang-goncang dari balik T-Shirt mengikuti sorak-sorainya yang
heboh itu. Teteknya tergolong cukup besar, yang membuatku beberapa kali
menelan ludah membayangkan seandainya Nita telanjang.
Sehabis
pertandingan basket, aku sengaja menyelinap dan bergabung dengan
teman-temanku agar bisa tidak ikut mengantar delegasi tim tamu. Aku
lihat Anto agak celingukan, mungkin mencari aku, namun tidak bisa
ditemukannya. Setelah berhasil lolos, aku terus mencari kesempatan agar
bisa mendekati Nita. Susah sekali, karena dia selalu berada di antara
teman-temanku, baik yang cewek maupun cowok.
Sampai
akhirnya aku sempat mencuri dengar dia pamitan mau ke toilet, dan
langsung bergegas. “Ini kesempatan,” pikirku, karena toilet hanya ada di
bagian dalam komplek sekolah. Tanpa pikir panjang, akupun segera
menyusulnya. Sesampai di toilet, aku berdiri menunggu di dekat tembok
pemisah antara toilet pria dan wanita. Tidak sampai 5 menit Nita sudah
keluar dari toilet wanita.
“Nita,” panggilku. Nita seketika menoleh padaku.
“Oh, Didik. Sedang ngapain di situ?”
“Sama kayak kamu. Kenapa tadi kita nggak barengan aja ya?” godaku.
“Enak
aja, lain jurusan bo,” jawab Nita enteng. Kemudian aku menghampiri Nita
dan kami jalan bersama keluar dari komplek sekolah sambil ngobrol. Nita
ternyata enak diajak ngobrol. Omongnya ceplas-ceplos dan tidak banyak
basa-basi. Mendadak aku bisa akrab dengan Nita, padahal biasanya hanya
‘hai-hai’ saja kalau ketemu. Sampai akhirnya ..
“Nit, kita pulang bareng yok?” ajakku.
“Lho, kan hampir tiap hari kita pulang bareng satu bis kota,” jawab Nita.
“Maksudku sih .. ya barengnya duduk di kursi yang sama sambil ngobrol,“ jelasku.
“Itu sih, oke-oke aja. Cuman, kali ini kayaknya belum bisa deh. Aku ada acara lain, jadi nggak langsung pulang,” kata Nita lagi.
“Ada janji yaaa?” tanyaku.
“Janji apaan, dan sama siapa?” Nita balik bertanya.
“Ya,
barangkali janji sama cowokmu. Atau udah ada Om-Om yang menunggu .. “
aku tidak meneruskan kata-kataku. Kulihat Nita mendadak melotot padaku
sambil mukanya merah padam.
“Plakkk !” belum sempat aku
menyadari, sebuah tamparan mendarat di pipiku. “Lancang mulutmu ya!
Kamu kira aku ini cewek apaan! Nggak kusangka … “ Nita langsung
meninggalkanku setengah berlari. Aku tidak mengejarnya, hanya berdiri
sambil mengusap pipiku yang lumayan panas kena tamparan Nita.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, selesai kencan dengan tante Ani, aku sempat
melihat Nita keluar dari hotel yang sama dengan tempatku dan tante Ani
berkencan. Aku sengaja sembunyi waktu itu, selain agar Nita tidak
melihatku, juga agar aku lebih leluasa melihat dan meyakinkan bahwa yang
kulihat memang Nita. Setelah yakin penglihatanku tidak salah, timbul
pikiranku untuk menebus tamparan Nita.
Aku tidak tahu
rumah Nita. Aku hanya tahu bahwa dia kalau pulang naik bus kota satu
jurusan denganku, namun aku tidak tahu persis dia turun di mana, karena
rumah pamanku jaraknya lebih dekat ke sekolah, sehingga selalu aku yang
turun bus lebih dulu. Akhirnya aku memilih mencari tahu alamatnya lewat
data siswa-siswi di sekolah. Tentu saja sebagai pengurus OSIS aku punya
akses sehingga tanpa kesulitan aku bisa mendapatkan alamatnya.
Esoknya,
sepulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah paman. Alasan tentu
sudah kusiapkan matang sebelumnya. Aku sengaja tidak naik bus kota yang
pertama kali datang. Aku menunggu jadwal bus berikutnya yang selisih
waktunya sekitar 15 menit.
Agak lama aku mencari alamat
Nita. Lumayan keringatan juga. Setelah tanya sana-sini, akhirnya
kutemukan rumah Nita. Rumahnya sederhana, sangat sederhana malah.
Bangunannya semi permanen. Dinding bata hanya sekitar 1-1 setengah
meter, selebihnya papan kayu. Gang di depan rumah Nita terbilang sempit,
dan persis di depan seberang gang ada tembok tinggi dan panjang,
sepertinya tembok pabrik. Di sebelah kanannya rumah lumayan besar dengan
dinding dan pagar tembok yang cukup tinggi. Sedang di sebelah kirinya
terdapat tanah kosong yang memisahkan dengan rumah lainnya, yang juga
sederhana. Aku sejenak memandangi rumah Nita. Kusam, sangat kontras
dengan gaya dan penampilan Nita di sekolah. Aku sempat berpikiran,
jangan-jangan orang salah menunjukkan rumah Nita. Namun, akhirnya
kuhampiri juga rumah itu.
Kuketuk pintu rumah yang
tertutup setengahnya. Seorang anak laki-laki seusia anak SMP keluar.
Setelah meyakinkan bahwa memang benar itu rumah Nita, kusampaikan
maksudku untuk ketemu Nita pada anak tadi, yang ternyata adik Nita. Tak
lama Nita keluar setelah dipanggil adiknya. Dia masih memakai rok
abu-abu sekolah, namun atasnya sudah berganti T-Shirt warna biru tua.
“Oh, kamu,” katanya singkat dan ketus begitu tahu aku yang mencarinya.
“Lumayan susah juga ya nyari rumahmu,” kataku sambil melihat-lihat sekeliling rumah Nita.
“Mau apa kamu kemari?” tanya Nita masih dengan nada ketus sambil bersedekap berdiri di depan pintu.
“Mau
apa yah,” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. “Eng.. mungkin
pengin kamu tampar lagi,” Nita memperlihatkan ekspresi sangat geram
mendengar kata-kataku yang terakhir.
“Sori ya, bukan
waktunya melucu. Sekarang, bilang apa perlumu. Aku nggak punya banyak
waktu!” katanya masih dengan ekspresi geram, namun suaranya agak
ditahan, mungkin khawatir terdengar adiknya yang sudah masuk ke dalam
rumah.
“Kan udah kubilang, aku pengin kamu tampar
lagi,” jawabku santai. Saat itu aku dan Nita masih sama-sama berdiri di
depan pintu rumahnya. “Karena, aku pengin bilang sesuatu yang mungkin
membuatku kamu tampar lagi,” lanjutku.
“Maksudmu?!” tanya Nita sambil mendelik.
“Maksudku
.. aku pengin bilang lagi soal Om-Om,” kata-kataku terhenti melihat
tangan Nita yang terangkat seperti mau menamparku tapi ditahannya.
“Cuman kali ini dari apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri,”
lanjutku setelah Nita tidak jadi menamparku.
“Pergi kamu dari ini!” katanya sambil menahan marah.
“Soal
pergi itu gampang. Aku akan pergi, tapi setelah kamu njelasin kenapa
tempo hari kamu menamparku. Padalah yang kubilang itu ternyata betul.
Sekarang tamparlah aku lagi, karena yang kubilang sekarangpun juga
betul.” Beberapa saat Nita tidak berkata apa-apa, tapi kegelisahan
nampak jelas dari wajahnya. Kemudian dia sempat celingak-celinguk
melihat gang depan rumahnya.
“Masuk!” suruhnya masih
dengan nada ketus. Aku melangkah masuk mengikuti Nita menuju ke ruang
tamu. Ada satu set sofa di sana, namun warnanya sudah kusam dan sobek di
sana-sini. Aku mengambil tempat duduk di seberang Nita, terhalang meja.
“Sekarang, apa maumu?” tanya Nita masih ketus, namun sekarang sambil menunduk.
Belum
sempat kujawab, ada seseorang memanggil dari luar rumah. Ternyata adik
Nita dicari temannya, selanjutnya mereka pergi setelah adik Nita sempat
pamitan sama kakaknya dan juga aku. Setelah sepi lagi ..
“Kan udah
kubilang, aku mau penjelasan kenapa kamu menamparku tempo hari. Aku
yakin, yang kulihat di hotel X kemarin itu kamu, dan kamu keluar dari
sana dengan seorang Om-Om.” Nita makin menunduk. “Kenapa sekarang kamu
tidak menamparku, seperti tempo hari.” Nita tidak menjawab. Kami
sama-sama terdiam agak lama.
“Dik, kamu mau kan menjaga rahasia ini?” pintanya dengan nada agak memelas.
“Toh, sudah banyak yang tahu. Aku juga pertama kali denger dari temen-temen,” jawabku.
“Iya,
itu dulu. Waktu itu ada seorang pelangganku yang sakit hati, karena aku
menolak dijadikan istri mudanya, sehingga dia menyebarkan hal itu ke
temen-temen, ” Nita menghela nafas sejenak. “Tapi sekarang orang itu
sudah balik ke kampungnya di luar Jawa, setelah istrinya tahu soal itu.
Dan sudah lama aku tidak lagi mendengar omongan miring soal itu. Tapi,
tiba-tiba kamu ..”
“Kenapa sih kamu sampai begitu?”
tanyaku. Kemudian Nita bercerita panjang lebar, tentang bos ayahnya yang
pertama kali ‘memakainya’ 2 tahun yang lalu, sebagai syarat dia mau
membantu ayahnya yang waktu itu sedang dalam kesulitan. Dari situ
kemudian Nita menjadi cewek panggilan, namun terbatas hanya pada
kolega-kolega bos ayahnya.
“Jadi, ayahmu juga tahu?” tanyaku.
“Nggak.
Ayahku sama sekali nggak tahu. Bos ayahku itu sudah cukup mengenal
keluargaku, termasuk aku karena dia tinggal tidak jauh dari tempat
tinggal kami dulu. Sekarang ayah sudah pindah kerja, dan kamipun pindah
ke rumah ini. Tapi aku pekerjaan ini masih kuteruskan sampai sekarang.”
Nita
terus menceritakan ‘kisah’nya, termasuk kriteria pelanggan yang mau dia
layani. Nita hanya mau melayani kalangan yang berumur dan sudah mapan,
termasuk pejabat-pejabat. Karena, menurutnya resiko pekerjaannya bocor
relatif lebih kecil, karena pelanggannya itu juga berkepentingan untuk
merahasiakan kelakuan mereka. Nita juga bercerita tentang penghasilannya
yang ditabung tanpa seorangpun yang tahu, dan sebagiannya dia pakai
untuk keperluannya sendiri, dan juga membantu keluarganya dengan cara
yang tidak mencolok.
“Aku sudah cerita semuanya Dik. Terserah kamu mau menganggapku kayak apa, karena aku memang cewek kotor,” katanya lirih.
“Kotor?
Menurutku, kamu sama sekali bukan cewek kotor,” Nita memandangku
mendengar kata-kataku. “Apa yang kamu jalani itu hanya bagian dari hukum
supply-demand,” Nita terus menatapku. “Lagian, seks itu bagian naluri
manusia yang paling dasar. Cuman, hipokrisi manusialah yang menudingnya
sebagai hal kotor.”
“Ah, sebentar kuambilkan minum.
Sampai lupa dari tadi .. “ aku langsung berdiri memegang tangan Nita
yang sudah lebih dulu berdiri.
“Nggak usah Nit.
Kemana-mana aku selalu bawa air minum sendiri,” kataku sambil tangan
kiriku menepuk-nepuk tasku, sementara tangan kanan masih memegang tangan
Nita.
Beberapa saat kami hanya berdiri tanpa berubah
posisi sambil memandang satu sama lain. Selanjutnya seperti ada magnet,
kepalaku dan kepala Nita saling mendekat. Tak lama bibir kami sudah
beradu, dan kami pun berciuman sambil berdiri dengan terhalang meja.
Tidak puas berciuman dengan posisi seperti itu, kutarik tangan Nita agar
pindah ke tempat dudukku. Nita menolak dan melepaskan tangannya serta
bibirnya dari bibirku. Aku sempat kecewa, namun hanya sesaat, karena
Nita melepaskan diri hanya untuk menutup pintu yang masih setengah
terbuka.
Aku sudah tidak sabar. Kususul Nita yang
sedang menutup pintu. Selanjutnya kucumbu dia persis di belakang pintu.
Kudorong tubuhnya merapat ke pintu, seterusnya kulumah bibirnya yang
agak dower seperti bibir Titi DJ. Nita sendiri tidak pasif, dia membalas
ciumanku dengan lebih liar. Lidahnya pun dengan lihai sudah masuk ke
dan menjelajah rongga mulutku.
“hmmm … ohhhh … hmmmmm,”
curahan rasa nikmatku dan Nita saling sahut menyahut, dengan mata
setengah terpejam. Kemudian pelan-pelan kusibak dan angkat rok Nita
tanpa melepaskan ciuman. Kuelus-elus kedua pahanya dengan tanganku.
Terasa berbeda dengan waktu aku mengelus paha tante Ani. Kurasakan paha
Nita lebih kencang dan kenyal.
“hmmmmmh.. ahhhhh ..
sssshh,” desahan Nita makin menjadi-jadi. Setelah agak lama,
kutelusupkan tangan kananku ke dalam CD Nita dari arah atas. Kurasakan
bulu-bulu yang lebih halus dibandingkan punya tante Ani. Namun hanya
sebentar tanganku bermain di bulu-bulu Nita, selanjutnya langsung menuju
sasaran, memek Nita. Kuelus-elus bibir memek Nita, sambil sekali-kali
jariku menyentuh klitorisnya. Saat kuperlakukan seperti itu, Nita
melepaskan bibirnya dari ciumanku, kepalanya mendongak ke atas, kedua
tangannya memeluh leherku dan desahannya makin menggila, sedang mulut
dan lidahku ganti mengecup dan menjilati leher Nita.
“Diikk
… kita pindah ke kamar,” ajak Nita dengan suara bergetar akibat
birahinya. Aku tidak menjawab, tapi langsung membobong tubuh Nita.
Kubawa Nita ke arah kamar yang ditunjuknya, sambil bibirku sesekali
melumat bibir Nita. Setelah masuk dan menutup kamar, Nita menunjuk ke
arah tempat tidur, tapi tidak kuturuti. Kuturunkan Nita di samping
lemari kayu yang ada di kamar itu, dalam posisi berdiri. Aku masih ingin
mencumbunya dalam posisi berdiri, sehingga kembali kudorong Nita, kali
ini mepet ke lemari kayu sebelah samping.
Selanjutnya
dengan tidak sabar kulepaskan kaos Nita, dilanjutkan Nita yang membuka
sendiri kaitan BH-nya. Kaos lepas ke atas, dan BH melorot ke bawah,
memberiku satu pemandangan yang membuatku tercengang. Toket Nita
benar-benar berbeda dengan toket tante Ani yang sudah sangat ku hapal.
Kalau ukuran, hampir-hampir sama, malah punya Nita sedikit lebih kecil,
tapi bentuknya itu yang benar-benar membuatku ngiler. Agak bulat dan
terlihat padat, berbeda dengan punya tante Ani yang sudah kendor dan
menggantung. Putingnyapun jauh berbeda. Putting toket Nita kecil dan
kemerah-merahan, tegak meruncing.
Akhirnya dengan halus
kuremas-remas kedua toket Nita dengan posisi tubuh agak menjauh, agar
aku tidak kehilangan pemandangan indah didepanku saat kedua tanganku
beraksi. Sesekali, remasanku kuselingi dengan memlintir lembut puting
toket Nita.
“Ooohh.. Diikk .. terus sayang … aaahhh,”
Nita tak henti mendesah sambil menatapku dengan mata yang semakin sayu.
Puas mempermainkan toket Nita dengan tangan, kudekatkan kepalaku. Tanpa
ampun toket Nita sebelah kanan putingnya sudah jadi mainan mulut dan
lidahku, sedang yang sebelah kiri masih kumainkan dengan tanganku.
“Aaaahhhh
… Ssssssshhh ….. Oooooohhh … Enaaaaakkk sayang … terus sayang … “ Makin
hebat saja desahan Nita. Kuteruskan mempermainkan toket Nita dengan
tangan, mulut dan lidah bergantian kanan kiri beberapa kali. Di
tengah-tengah aksi itu, kurasakan tangan Nita melolosi kancing seragamku
satu persatu, melepas dan melemparnya. Kemudian dilepaskan juga kaos
dalamku yang membuatku melepaskan mulut dari toket Nita.
Kini
aku dan Nita sudah sama-sama telanjang bagian atas. Sejenak Nita
mengusap dadaku dan aku pun mengusap kedua toket Nita. Kemudian aku
menunduk, melepas serta melorotkan rok Nita, kususul dengan melepas
CD-nya yang berwarna pink. Nita sudah telanjang bulat di depanku. Aku
tidak mau beranjak dari posisi setengah jongkok, sehingga memek Nita
posisinya pas di depan wajahku. Kupandangi sambil kuelus-elus, dari
mulai bulu-bulunya yang tergolong jarang dan halus. Sesekali kumasukkan
jariku ke lubang memeknya, dan setiap kali itu pula Nita menggelinjang
sambil mendesah.
Setelah puas, kuangkat kaki Nita sebelah kanan. Kuletakkan pahanya di pundakku, dan mulutku kuarahkan ke memeknya.
“Sruuuuttt
.. ssssh .. “ kuhisap memek Nia yang sudah sangat basah. Kemudian
kumasukkan lidahku, dan klitorisnya mulai dijilati. Nita menggelinjang
makin hebat, desahannya sudah semakin panjang, dan tangannya sesekali
menjambakku.
Setelah itu aku berhenti sejenak. Kuatur
posisi agar lebih nyaman. Sempat kulihat kedua tangan Nita mengarah ke
belakang, memegangi pinggir lemari yang disandarinya. Kemudian kembali
kujilati klitoris Nita, sambil jari tengah tangan kananku pelan-pelan
kumasukkan ke lobang memeknya. Kukeluar masukkan dengan lembut, sambil
terus kujilati. Seterusnya, Nita mulai menggoyang pantatnya sambil tak
henti mulutnya mendesah dan meracau.
Agak lama aksi
seperti itu kami lakukan, sampai akhirnya kurasakan goyangan pantat Nita
makin lama makin cepat yang disusul dengan desahan sangat panjang.
“Aaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh … “ Nita mencapai orgasmenya.
Setelah
kuberi waktu sejenak untuk mengatur nafasnya kembali, kulepaskan
sendiri celana dan CD-ku. Kontolku yang sudah keras dan bebas mulai
kuarahkan ke lobang memek Nita yang masih berdiri. Tiba-tiba Nita
menahanku, kemudian sambil berputar dia gantian mendorongku ke diding
lemari. Setelah itu dia menunduk dan …
“Hlleppp .. ”
kontolku sudah masuk ke mulutnya. Kemudian kepala Nita bergerak maju
mundur, mengocok kontolku dengan mulutnya, sehingga gantian aku yang
mendesis-desis dan menggelinjang. Beberapa saat kemudian Nita
menghentikan gerakannya, terlihat dia berjongkok. Sekarang tangannya
yang gantian mempermainkan kontolku. Dikocok dan kadang diurutnya batang
kontolku. Kurasakan cara Nita mengocok kontolku agak teratur dan
terpola. Pas gerakan turun dari ujung ke pangkal, genggamannya terasa
lebih kuat dan sedikit menekan, sedang waktu arah sebaliknya tangannya
mengendor seperti hanya menyerempet-nyerempet saja. Arah kocoknya juga
tidak monoton, kadang tangannya setengah memutar, sehingga kontol
rasanya seperti dipelintir.
Baca Juga :
Aku Disetubuhi Oleh Kakakku Sendiri